http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20151221192600-241-99708/monsoon-tiger-and-other-stories-kedewasaan-gadis-14-tahun/

Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia adalah buku terbitan terakhir Professor, The School of Culture, History, and Language, Australian National University's College of Asia and The Pacific (ANU), Canberra, Australian Capital Territory (ACT), Australia, Dr. Ariel Heryanto.

Diterjemahkan dari buku The Politics of Indonesian Screen Culture tahun 2014 oleh NUS Press Singapore. Kemarin saya datang ke peluncuran bukunya di FSIP Brawijaya Malang bersama Gideon yang sama-sama dari Salatiga dan Ika, seorang mahasiswi Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Jl. Ketintang, Surabaya, Provinsi Jawa Timur (Jatim) yang lagi magang di Yayasan Hotline Surabaya.

Buku nyaris selesai saya baca. Saya paling senang berdiskusi dengan pengarang buku yang saya baca. Ngertinya jadi berlipat-lipat. Memburu bertemu dengan penulis buku adalah kebiasaan dan hobi saya. Apalagi Ariel Heryanto adalah dosen favorit di Universitas Satya Wacana, Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga, Provinsi Jawa Tengah (Jateng) tempat saya kuliah pertama kali dulu. Karisma dan kepandaiannya bicara tidak berubah sekalipun kami berdua telah berkembang jauh dengan bidang yang berbeda.

Bertemu istrinya yang juga saya kenal. Tiga puluh tahun lebih kami tidak pernah bertemu. Kalau dengan Ariel Heryanto pernah bertemu di sebuah hotel di Jakarta hanya tidak bicara ide. Ketika kuliah sosiologi saya melihat banyak sekali bukunya dikutip dalam penulisan skripsi, tesis, dan disertasi. Bidang kami berbeda sama sekali. Karena itu tidak saya ikuti. Namun saya tahu kalau dia telah menjadi ilmuwan sosial kelas dunia.

Bukunya saya baca di tengah tekanan menyelesaikan buku dari kantor. Antara ngerti dan tidak. Yang dibahas soal budaya pop dalam kaitannya dengan politik dan identitas. Untung saya ikut peluncuran bukunya bukan bedah buku kemarin. Penjelasan singkat yang diberikan Ariel Heryanto langsung membuat saya menangkap kerangka berpikirnya. Saya mendapat kenikmatan karena mengerti kerangka berpikirnya.

Sekalipun bicara kenikmatan yang didapat dari karya budaya pop namun bukunya soal hasil penelitian dan pemikirannya sejak lama. Intinya menurut yang dipaparkan kemarin adalah orde baru menentukan segala sesuatu dari atas menjadi pengendali tunggal termasuk mengendalikan wacana dan karya budaya yang ada selama 30 tahunan. Ketika runtuh terjadi kekosongan. Banyak pihak hendak mengisi kekosongan tersebut dengan hendak merumuskan kembali APA ARTINYA MENJADI INDONESIA.

Yang diamati mantan Head of Southeast Asia Centre, Faculty of Asian Studies The University of Melbourne, Melbourne, Victoria, Australia, Ariel Heryanto adalah bagaimana masyarakat biasa merumuskan arti menjadi Indonesia melalui respon terhadap budaya layar yang ada seperti film, televisi, YouTube, dan lain-lain. Perubahan media dari tulis ke televisi, kemudian ke online bagi Ariel Heryanto adalah PENANDA hadirnya jaman baru yang mengubah pandangan orang tentang ruang dan waktu.

Tahun 60an masyarakat Amerika Serikat (AS) geger melihat anak-anak muda mereka keranjingan nonton televisi seperti saat ini masyarakat Indonesia geger melihat anak muda yang gandrung smartphone.

Cara mendapat kenikmatan (hiburan) berubah drastis. Perubahan ini diikuti dengan perubahan identitas. Perubahan identitas yang diamati Ariel Heryanto terkait dengan agama Islam, Indonesia China, G-30-S, perempuan. Menarik sekali yang dipaparkan tentang pertarungan merumuskan identitas baru untuk mengisi kekosongan yang ada melalui budaya layar yang ada.

Melalui pengamatan Visiting Scholar The Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV)/Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, Ariel Heryanto terhadap perilaku masyarakat biasa dalam mengapresiasi produk budaya yang ada melalui media budaya layar.

Katanya pembentukan identitas tidak perlu melalui penentangan/konfrontasi tetapi melalui kenikmatan yang dihasilkan budaya pop. K-Pop yang dijadikan contoh oleh Ariel Heryanto dan jadi cover buku merupakan fenomena yang sangat menarik. Budaya pop Korea Selatan (Korsel) bisa diterima perempuan muda Indonesia kelas menengah dan menjadi pembentuk identitas baru tentang pembebasan perempuan. Terasa segar dan ada kejutan.

Indonesia mendapat rahmat luar biasa karena mampu menampung berbagai budaya yang ada yang diintegrasikan ke budaya lokal namun tidak saling menindas. Jaman sekarang, tidak ada lagi yang namanya budaya asli. Semuanya adalah budaya hibrid. Budaya pop Korea Selatan (Korsel) diadopsi dari Jepang dan Jepang mengambilnya dari Barat. Yang belum saya mengerti lalu bagaimana dengan budaya pop Indonesia? Apakah bisa menjadi faktor penentu perubahan sosial? Kalau jawabannya ya, maka sepertinya saya perlu bertobat dalam memilih strategi. Datang mendengarkan Ariel Heryanto membuat saya menggugat cara kerja saya dalam melakukan perubahan perilaku sosial. Bidang yang harus saya pelajari lebih jauh.

Di luar acara diskusi. Ada anak remaja lulusan SMP yang dibawa oleh bapaknya yang menjadi dosen di Unversitas Trunojoyo, Jl. Raya Telang, Kecamatan Kamal, Bangkalan, Madura, Provinsi Jawa Timur (Jatim). Anak ini tertarik sekali dengan cover buku Ariel Heryanto karena dia penggemar K-Pop. Saya amati dia, serius banget mendengar Ariel Heryanto bicara.

Konon kabarnya buku Ariel Heryanto digemari oleh para remaja. Luar biasa. Cara membuat anak muda menyukai ilmu sosial melalui sesuatu yang lagi trend. Di Malang buku Ariel Heryanto juga terjual habis. Sungguh menarik apa yang dilakukan oleh Ariel Heryanto. (esh)